ETIKA DALAM MAJELIS
ETIKA DALAM
MAJELIS
Suhardi Nasution, S.Ag. MA
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ
ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
|
|
|
|
:
|
|
Terjemahan
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Larangan
berbisik yang diuraikan oleh ayat-ayat
yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna membina hubungan harmonis
antara sesama. Berbisik di tengah orang lain mengeruhkan hubungan melalui
pembicaraan itu. Ayat di atas masih merupakan tuntunan akhlak. Kalau ayat yang
lalu menyangkut pembicaraan rahasia, kini menyangkut pembicaraan dalam satu
majlis. Ayat di atas memberi tuntunan bagaimana menjalin hubungan harmonis
dalam satu majlis. Allah berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu oleh siapa pun: “Berlapang-lapanglah yakni berupayalah
dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang
lain dalam majlis-majlis yakni satu
tempat, baik tempat duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta kepada kamu
agar melakukan itu maka lapangkanlah
tempat itu untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal
tersebut, niscaya Allah akan melapangkan
segala sesuatu buat kamu dalam hidup
ini. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah
kamu ke tempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat orang yang lebih
wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu seperti untuk sholat dan
berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantara kamu wahai yang memperkenankan tuntunan ini dan orang- orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat
kemuliaan di dunia dan di akhirat dan
Allah terhadap apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa dating Maha Mengetahui.
Asbabun nuzul
Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari
jum’at. Ketika itu Rasul saw berada di suatu tempat yang sempit, dan telah
menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat
dalam perang Badar, karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah
berlangsung, beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu
mengucapkan salam kepada Nabi saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan
salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun meraka tidak memberi tempat.
Para sahabat itu tetap saja berdiri, maka Nabi saw memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang
lain – yang tidak terlibat dalam perang Badar untuk mengambil tempat lain agar
para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw. Perintah Nabi itu,
mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum
munafikin untuk memecah belah dengan berkata: “Katanya Muhammad berlaku adil,
tetapi ternyata tidak.” Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: “Allah
merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman
menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan
sabda Nabi itu.
Apa yang dilakukan
Rasul saw terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar itu, dikenal
juga dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai peraturan
protokoler, di mana penyandang kedudukan terhormat memiliki tempat-tempat
terhormat di samping Kepala Negara.
Kata
tafassahu dan ifsahu terambil
dari kata fasaha yakni lapang. Sedang kata unsyuzu terambil dari kata
nusyuz yakni tempat yang tinggi.
Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang
dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk berada di tempat yang
wajar pindah itu, atau bangkit melakukan
satu aktivitas positif. Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi,
jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi saw yang
lain dan yang perlu segera beliau hadapi.
Kata majalis
adalah bentuk jamak dari kata majlis.
Pada mulanya berarti tempat duduk.
Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad saw memberi tuntunan agama
ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri
atau bahkan tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini
adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang yang
dihormati atau yang lemah. Seorang tua
non muslim sekalipun, jika anda – wahai yang muda – duduk di bus, atau kereta,
sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan beradab jika anda
berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Al-Qurthubi
menulis bahwa bisa saja seseorang mengirim pembantunya ke mesjid untuk
mengambilkan untuknya tempat duduk, asalkan sang pembantu berdiri meninggalkan
tempat itu ketika yang mengutusnya datang dan duduk. Di sisi lain tidak
diperkenankan meletakkan sajadah atau semacamnya untuk menghalangi orang lain
duduk di tempat itu.
Ayat
di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka
memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman.
Tidak disebutnya kata meninggikan itu,
sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina
utu al-ilm / yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan
menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum
beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal
saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan.
Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu
yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik
secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Ilmu yang dimaksud
oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.
Dalam QS. Fathir (35): 27-28 Allah menguraikan sekian banyak makhluk Ilahi, dan
fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: Yang takut
dan kagum kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Ini menunjukkan
bahwa ilmu dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain itu
juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah,
yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta
memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk. Rasul saw sering kali berdo’a: “Allahumma inni a’udzubika min ‘ilm(in)la
yanfa’(Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).”
0 Response to "ETIKA DALAM MAJELIS"
Posting Komentar